Ticker

6/recent/ticker-posts

Putusan MK Soal Penempatan Anggota Polri Tegaskan Kembali Kepastian Hukum


JAKARTA
Info-Nusantara.com Senin.17/11/2025 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 dinilai memberikan penegasan penting dalam tata kelola kepegawaian Negara, khususnya terkait penempatan anggota Polri pada jabatan di luar institusi kepolisian yang berada dalam rezim Aparatur Sipil Negara (ASN).

Praktisi Hukum sekaligus mantan Asisten Komisioner Komisi ASN, IGN Agung Y. Endrawan, SH, MH, CCFA, menyampaikan bahwa putusan tersebut menghadirkan kembali kepastian hukum dalam pengisian jabatan Publik.

“Putusan ini memberikan kejelasan norma yang selama ini dibutuhkan dalam pengisian jabatan Publik, terutama mengenai batasan penempatan anggota Polri dalam jabatan ASN,” ujar Agung Senin (17/11/25).

Agung menjelaskan bahwa MK menyatakan tidak berlakunya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian karena dinilai membuka ruang multitafsir terhadap dasar penugasan anggota Polri dalam jabatan sipil. Menurutnya, MK memandang bahwa frasa tersebut dapat menimbulkan ketidaksesuaian dengan prinsip netralitas aparatur negara serta asas sistem merit.

“Frasa tersebut oleh MK berpotensi menimbulkan perbedaan perlakuan dan dinilai tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945,” jelasnya.

Sementara itu, bagian pertama Penjelasan Pasal 28 ayat (3) yang menyebut bahwa “jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian” tetap berlaku, sehingga batasan yuridis mengenai jabatan mana yang dapat diisi anggota Polri kini semakin tegas.

Sejalan dengan putusan tersebut, 

Agung menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat mengisi jabatan ASN yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, apalagi melalui mekanisme penugasan internal.

“sesuai ketentuan bahwa anggota Polri perlu mengundurkan diri atau memasuki masa pensiun terlebih dahulu sebelum mengikuti mekanisme pengisian jabatan ASN yang tidak memiliki relevansi dengan tugas kepolisisian,” ujarnya.

Lebih lanjut, Agung menjelaskan bahwa pengaturan mengenai penempatan anggota Polri sebenarnya telah diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah tentang Manajemen PNS, yaitu PP Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020, khususnya Pasal 147 hingga Pasal 149. Ketentuan tersebut mengatur bahwa penempatan hanya dimungkinkan pada instansi pusat tertentu, jabatan tertentu, dan kompetensi tertentu, serta tetap memerlukan persetujuan Menteri PANRB dan penetapan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.

“Penggunaan frasa ‘dapat diisi’ menunjukkan bahwa penempatan anggota Polri bersifat opsional dan sangat bergantung pada relevansi kompetensinya, kebutuhan instansi yang dapat dilertanggungjawabkan secara Hukum atau karena tidak ada ASN yang mempunyai kompetensi teknis berkaitan ada hubungannya dengan fungsi kepolisian, namun Sistem Merit tetap menjadi dasar utama dalam menentukan kelayakan,” kata Agung.

Ia menambahkan bahwa meskipun terdapat instansi seperti Bakamla, BSSN, BNN, BNPT, KPK, maupun BIN yang memiliki irisan fungsi dengan kepolisian, tidak semua jabatan layak diisi oleh anggota Polri. Jabatan-jabatan administratif seperti anggaran, perencanaan, kepegawaian, atau manajemen umum merupakan ranah ASN dan harus mengikuti mekanisme meritokrasi secara penuh.

Terkait konsekuensi yuridis, Agung menyampaikan pertimbangan bahwa penempatan anggota Polri pada jabatan ASN yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, dan terlebih jika status kedinasannya belum dilepas, berpotensi menimbulkan persoalan Hukum.

“Karena putusan MK berlaku erga omnes, tindakan administratif yang tidak selaras dengan putusan tersebut dapat dipandang tidak memenuhi ketentuan substantif dan berdampak pada keabsahan jabatan,” tuturnya.

Dalam masa transisi paska pembubaran Komisi ASN, Agung menilai bahwa Kementerian PANRB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa proses penempatan jabatan tetap berlangsung objektif dan sesuai dengan ketentuan hukum.

“Kementerian PANRB perlu memberikan persetujuan penempatan dengan standar yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan BKN diharapkan dapat memastikan keabsahan SK berkaitan ada tidaknya sangkut pautnya dengan tugas kepolisian dalam jabatan ASN termasuk sebelum menetapkan Nomor Induk Pegawai,” terang Agung.

Menutup penjelasannya, Agung menegaskan bahwa putusan MK tersebut memperjelas batas antara rezim kepegawaian Polri dan rezim ASN. Kejelasan tersebut, menurutnya, penting agar administrasi pemerintahan berjalan akuntabel, profesional, dan tetap berpegang pada prinsip meritokrasi dalam pengisian jabatan Publik.

Penutup.


( Rls / Agus / Erick / Red )