TANGERANG SELATANInfo-Nusantara.com Minggu.21/12/2025 Di balik gunungan sampah TPA Cipeucang, Tangerang Selatan, tersembunyi ancaman yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar bau dan pemandangan tak sedap.
Air lindi, cairan gelap yang terbentuk dari peluruhan material organik dan pencucian zat berbahaya oleh air hujan atau kelembapan, merembes perlahan ke tanah dan air, membawa logam berat, bahan kimia, dan patogen yang mengancam ekosistem dan kesehatan manusia.
Persoalan ini bukan hanya soal teknis pembuangan, tetapi ujian serius bagi tata kelola kota, keberpihakan pada warga, dan keberlanjutan lingkungan.
Warga di sekitar TPA hidup sehari-hari dengan konsekuensi nyata. Bau menyengat, banjir bercampur lumpur hitam, hingga kontaminasi sumur menjadi rutinitas yang tak bisa diabaikan.
“Kalau hujan deras, air dari arah TPA naik. Baunya menyengat, kadang sampah ikut masuk ke rumah,” ujar Lestari, warga setempat.
Untuk mendapatkan air bersih, banyak keluarga harus mengeluarkan biaya tambahan, sementara nilai properti mereka menurun. Ketimpangan sosial menjadi nyata, warga menanggung dampak langsung, sedangkan manfaat TPA dinikmati seluruh kota.
Dari perspektif kesehatan, risiko semakin nyata. Gas metana dari sampah membusuk dan lindi yang mengandung logam berat serta bahan kimia beracun dapat menyebabkan gangguan pernapasan, penyakit ginjal, kerusakan hati, hingga kanker jangka panjang.
Jika pengelolaan lindi dan gas tidak optimal, dampaknya bisa jangka panjang, mulai dari gangguan pernapasan hingga penyakit berbasis lingkungan.
Secara ekologis, TPA Cipeucang menimbulkan risiko serius. Lindi merusak tanah, mengurangi kesuburan, serta merusak struktur dan kualitas tanah pertanian.
Tumpukan sampah yang terus meningkat menambah potensi longsor dan memperparah banjir akibat aliran air tersumbat.
Dimas, warga Ciputat, menekankan, “TPA bukan hanya soal menampung sampah, tapi soal daya dukung lingkungan. Kalau sudah lewat ambang batas, risikonya akan ditanggung lintas generasi.”
Dari sisi ekonomi, keberadaan TPA menghadirkan paradoks. Warga sekitar menanggung kerugian langsung, sementara pemerintah daerah mengalokasikan anggaran besar untuk penanganan darurat.
Padahal, sampah memiliki potensi menjadi sumber daya melalui teknologi pengolahan menjadi energi, RDF (Refuse Derived Fuel), atau sistem daur ulang terintegrasi.
Seorang warga menegaskan, “Masalahnya bukan tidak ada teknologi, tapi keberanian mengambil keputusan strategis.”
Setiap upaya pembenahan TPA membutuhkan dana signifikan, mulai dari pembangunan landfill baru hingga penguatan infrastruktur pengolahan lindi.
Namun tanpa pengurangan sampah dari sumbernya, investasi ini berisiko menjadi siklus tanpa akhir.
Kebijakan pembatasan sampah, tanggung jawab produsen, serta edukasi publik belum berjalan seimbang.
Ketergantungan pada TPA menunjukkan bahwa hulu persoalan, pola konsumsi dan pengelolaan limbah belum tersentuh secara serius.
Penanganan lindi yang optimal memerlukan sistem sanitary landfill, di mana sampah ditumpuk dalam sel kedap air dan lindi dialirkan ke kolam penampungan untuk diolah melalui aerasi, filtrasi, atau bioremediasi.
Pemilahan sampah dari sumber dan edukasi masyarakat untuk mengompos sampah organik dapat mengurangi volume dan toksisitas lindi.
Regulasi pemerintah wajib menegakkan standar TPA dan pengolahan lindi yang layak.
TPA Cipeucang kini berada di persimpangan. Satu arah menawarkan perbaikan bertahap dengan biaya tinggi dan risiko sosial terus membayangi. Jalan lain menuntut transformasi menyeluruh sistem pengelolaan sampah kota lebih mahal di awal, tetapi berpotensi berkelanjutan.
Seorang warga menegaskan, “Menunda keputusan hanya akan memperbesar biaya sosial dan lingkungan.”
Pertanyaan “layakkah TPA Cipeucang dipertahankan?” bukan sekadar soal teknis persampahan. Ini adalah ujian kepemimpinan, keberpihakan pada warga, dan keseriusan membangun kota berkelanjutan.
Tanpa perubahan mendasar, TPA akan terus menjadi sumber konflik, krisis kesehatan, dan ancaman lingkungan.
Namun dengan keputusan strategis, transparan, dan berbasis sains, persoalan sampah dan lindi bisa menjadi titik balik menuju tata kelola lingkungan yang adil, sehat, dan berkelanjutan bagi seluruh warga.
Penutup.
( Tim / Red )






























